I.PENDAHULUAN
Kondisi media massa di wilayah konflik (conflict area), baik cetak maupun elektronik memang sangat dilematis. Di satu sisi, dituntut indepedensi, kejujuran, keadilan, keberanian dan berpihak kepada kebenaran. Di sisi lain, proses perebutan pengaruh kedua pihak berkonflik juga sangat berimbas pada eksistensi media massa dan pekerja pers.
Teror, intimidasi, penculikan, bahkan pembunuhan, menjadi fenomena mengerikan bagi pekerja pers. Pembakaran kantor dan surat kabar tertentu yang tidak sesuai mempublikasikan informasi dengan pihak berkonflik, juga menjadi catatan yang sangat mengusik kemerdekaan kerja bagi insan-insan pers. Realiti ke kinian ini berimbas pada kesempatan dan ruang (space) yang sangat sempit bagi jurnalis untuk bekerja meliput, mengolah, dan mempublikasikan berita-berita objektif kepada khalayak (public).
Kemerdekan memperoleh informasi (KMI) yang benar dan akurat bagi public, yang merupakan bagian dari HAM dalam wilayah konflik, hanya menjadi impian belaka. Apalagi berita-berita yang damai dan menyejukkan. Media massa ikut-ikutan menabuh gendrang perang sebabai sebuah upaya penggiringan media ke arah anarkhisme dan brutalisme. Dalam konteks ini, telah menjadi pembenaraan bahwa media massa ikut andil mengacaukan suasana sekaligus menganjurkan perang. Persoalannya adalah, bagaimana prinsip-prinsip jurnalistik yang digunakan oleh pekerja pers dalam meliput berita-berita konflik. Apakah cenderung ke jurnalisme damai (peace journalism) atau jurnalisme perang (war journalism). Dan bagaimana pula bahasa-bahasa berita yang digunakan.Tulisan sederhana ini mencoba menyoroti dan menganalisis kondisi, posisi dan kecendrungan media massa dalam meliput berita-berita konflik, terutama media massa di Aceh.
II.KONFLIK ACEH
Membedah konfik Aceh dalam sejarah panjang memang agak melelahkan. Perjalanan sejarah panjang ke-Acehan itu tidak pernah sepi dengan konflik yang mengarah kepada kekerasan-kerasan (violence). Konflik tersebut secara perioderisasi sederhana dapat dibagi dua. Pertama, sebelum kemerdekaan RI. Konflik pada era ini lebih mengarah pada perlawanan-perlawanan rakyat terhadap penjajahan-penjajahan luar (eksternal), sebut saja, Belanda, Portugis dan Jepang. Tahun 1873, merupakan klimaks kemarahan Belanda terhadap rakyat Aceh untuk melancarkan perang. Kemudian perang ini dikenal dengan Perang Aceh. Belanda ketika itu telah menabur benih-benih konflik di seluruh wilayah Indonesia. Bagi rakyat Aceh sendiri, perang semacam ini disebut Snouck Hurgronje sebagai Perang Kaphe (Hurgronje,1906). Perang dengan orang bermata biru ini bagi orang Aceh juga dikenal dengan “Prang Sabi” (perang menegakkan Agama di jalan Allah).
Salah satu benih konflik yang masih membekas dalam sanubari rakyat Aceh yang dimunculkan penjajah adalah kerja paksa (Rodi). Semua rakyat dipaksa kerja pada tanah sendiri tanpa diberi upah yang sesuai. Sedang keuntungan yang berlipat ganda diambil oleh mereka. Terkait dengan ini, banyak buruh kasar yang dibawa dari pulau jawa dan mereka dipekerjakan di kebun-kebun karet dan kelapa sawit. Mereka sewaktu-waktu juga dimamfaatkan untuk membantu operasi tentera penjajahan. Setidaknya menjadi “informan” untuk menyuplai informasi dan data-data pejuang Aceh.
Perang Aceh dengan Belanda ini dianggap paling lama dalam sejarah perlawanan rakyat melawan penjajah. Terkait dengan ini, rakyat Aceh juga telah memperkenalkan bagaimana Perang gerilya. Alfian (1987), menggambarkan bahwa, orang Aceh dengan gigih melawan Belanda karena dianggap sangat berbahaya, disamping merusak tata kehidupan masyarakat dan nilai-nilai keagamaan,juga mereka dianggap kafir.
Bersamaan dengan berkecamuknya perang dengan Belanda, tiba-tiba Jepang mendarat melalui Malaya (Malaysia sekarang). Mula-mula mendapat sambutan hangat. Bahkan para pemuda secara rahasia menanti kedatangan Jepang dengan memakai sandi “F” (Fujiwara).
Tidak begitu lama “bersahabat”dengan rakyat Aceh, Jepang semakin terlihat sifat-sifat fasisme dan kolonialismenya. Bangkitlah kemarahan rakyat Aceh untuk melawan Jepang. Dalam gambaran dan pandangan rakyat Aceh, baik Belanda maupun Jepang sama saja dan tidak boleh dipercaya. Ungkapan kesal ini tergambar dalam pepatah “Tapicrok Bui Jiteka Asee” (kita kejar babi datang anjing).
Dendam dan benci kepada penjajahan (colonial), sifat, karakter dan bentuk-bentuknya (kolonialis) dalam jiwa rakyat Aceh, sebenarnya sebuah proses panjang dan sangat sulit untuk dihilangkan. Kalau kemudian karakter dan prinsip semacam ini masih eksis dalam jiwa-jiwa rakyat Aceh dan setiap saat akan muncul, adalah sikap-sikap kesal dan ketidakpuasan terhadap praktik-praktik yang masih diaktualisasikan seperti penjajahan masa dahulu (kolonialis). Konteks ini, tidak terbatas waktu dan ruang. Siapa saja yang mewarisi dan mengaktualisasikan kerja-kerja colonial, tabiat, dan karakternya akan dibenci oleh orang Aceh. Termasuk keluarga dan familinya sendiri.
Kedua, pascakemerdekaan RI. Pengkhianatan demi pengkhianatan yang dilakukan RI terhadap Aceh, adalah bagian dari punca merebaknya konflik dan munculnya protes-protes dan ketidakpercayaan rakyat Aceh terhadap pusat (RI).
Meletusnya pemberontakan DI/TII (1953), yang dikomandoi Tgk. Daud Bereueh, merupakan jawaban terhadap pengkhianatan tersebut. Tuntutan rakyat saat itu sebenarnya sangat sederhana untuk mengembalikan bagian identitas ke-Acehan, yaitu masyarakat Aceh diberikan kebebasan sepenuhnya melaksanakan Syariat Islam secara kaffah. Tuntutan ini hanya pengulangan janji-janji Soekarno (presiden RI) ketika menghadap ulama dan tokoh-tokoh Aceh, bahwa akan menggunakan legalitasnya untuk memberlakukan syariat Islam di Aceh merujuk pada Piagam Jakarta (Baca: syamsuddin, 1990).
Setelah janji kotor itu tidak dipenuhi, malah Provinsi Aceh dibubarkan. Dan yang sangat menyakitkan rakyat lagi, Tgk. Daud Bereueh diberhentikan secara resmi sebagai Gubernur Militer Aceh oleh Pemerintah RI.
Perlakuan-perlakuan semacam ini berimbas pada bertambahnya luka bagi rakyat Aceh, bagaikan jatuh tertimpa tangga. Ketidakpercayaan rakyat Aceh kepada pemerintah pusat, telah memunculkan protes-protes sosial secara keras dalam bentuk pemberontakan.
Konflik vertikal antara pemerintah pusat dengan rakyat Aceh tidak dapat dihindarkan. Ketidakpercayaan rakyat ini berlarut-larut sampai munculnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dipimpin Tgk. Hasan Ditiro (1976). Dari rentangan waktu ke waktu sebelum munculnya “Generasi Penggugat Baru”, seharusnya kerajaan pusat membuka mata lebar-lebar, kemudian secara jujur dan transparan mengakui segala kelemahan dan berikrar secara sungguh-sungguh untuk memperbaikinya serta tidak akan mengulangi lagi kekeliruan masa lalu. Komitmen inilah sebenarnya yang ditungu-tunggu publik, tidak hanya rakyat Aceh. Juga yang lainnya. Namun, yang muncul senantiasa sikap-sikap arogan, gengsi, tamak bin rakus dan suka korupsi. Aksi-aksi semacam ini yang kemudian diaktualkan lagi oleh aparat keamanan sebagai bagian dari negara itu sendiri.
Melihat keseriusan Jakarta menumpas “setiap protes sosial”, termasuk di Aceh, mengindikasikan bahwa Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan semacamnya, bukan lagi gerakan sempalan tanpa dukungan. Berbagai operasi militer telah digelar sejak GAM dideklarasi th 1976 di Gunung Halimun, Pidie. Dengan mengunakan berbagai sandi, mulai dari Operasi Siwah Alpha (1977-1982). Operasi Siwah Beta (1982-1983). Operasi Sadar (1989-1990). Operasi Jaring Merah (1990-1998). Sandi-sandi operasi ini mulai 1989-1998 (selama 10 tahun) masuk dalam kebijakan yang sangat mengerikan yang disebut Daerah Operasi Militer (DOM jilid I).
Mulai 19 Mei 2003-19 Mei 2004 telah ditetapkan kembali Aceh Daerah Operasi Militer (DOM jilid II). Penguasa sipil dilebur menjadi Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD). Maknanya, semua lembaga, dan institusi, baik sipil, maupun swasta, tak terkecuali media massa, berada dalam kungkungan dan pengawasan PDMD.
Pelanggaran HAM dalam aksi-aksi operasi militer tersbut bagaikan catatan-catatan mati pada batu nisan. Begitu pula pembungkaman media massa, juga bagaikan permainan penyamun di siang bolong dan telah melangar pula hak-hak mengemukakan pendapat dan kemerdekaan memperoleh informasi bagi publik. Yang merepotkan (baca panik) pusat adalah, bahwa Aceh telah menjadi bagian dari “Global Village” (Desa Global), kata pakar komunikasi, Mc Luhan. Kondisi semacam ini, dalam masa yang sama, termasuk isu-isu konflik vertikal di Aceh sangat mudah dan cepat diketahui oleh masyarakat dunia. Hal ini dibantu oleh kecanggihan teknologi komunikasi, termasuk multi media. Maka teori “pembungkaman”, “pembongsaian” dan “pengisolasian” yang selama ini digunakan ternyata harus ditinggalkan, karena semua mata dunia melihat kekejaman kemanusiaan ini.
Dari berbagai konflik kekerasan (perang) tersebut, baik sebelum kemerdekaan RI, maupun pascakemerdekaan RI sampai sekarang, banyak pengalaman pahit yang tersisa, baik dari pihak penjajah, mapun di pihak Aceh sendiri. Pusara Jendral Kohler di depan Mesjid Raya Baiturrahman dan perkuburan serdadu-serdadu Belanda, Kherkhop, adalah bukti-bukti sejarah kerugian konflik kekerasan tersebut. Demikian pula bagi RI sendiri, berapa banyak aparatnya yang gugur setiap operasi yang digelar di Aceh. Bagi pihak Aceh kerugian yang paling dirasakan adalah, ribuan korban orang-orang yang tidak bersalah (secara hukum), maupun harta benda. Bahkan penghilangan, penculikan, teror, pemerkosaan, dll. Kondisi refresif aparat (baca: negara) berketerusan ini, telah menyisakan trauma psikologis berbalut dendam dan sangat sulit untuk disembuhkan. Walaupun kondisi semacam ini bagian dari sebuah scenario dan setting dalam jangka panjang. Konteks inilah yang sangat prihatin dan membimbangkan masa depan, meskipun kondisi aman dan damai di Aceh dapat dicapai.
III. POSISI MEDIA MASSA
Posisi media massa dalam percaturan dinamika pembangunan dan kehidupan memang sangatlah strategis. Bukan saja dapat merekonstruksi perubahan-perubahan dalam berbagai dimensi, tetapi dapat pula mewarnai kultur sosial. Bahkan dapat mengontrol perkembangan dan kebijakan politik yang sedang dimainkan. Maka tidaklah berlebihan ketika pers (baca: media massa) disebut the fouth state oleh pakar politik dan media massa, di samping kekuatan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam sebuah Negara, media masa menjadi pilar ke empat.
Masalahnya adalah, begitu strategisnya posisi pers, bagaimana posisi pers ketika berada di wilayah konflik, seperti Aceh. Apakah kejujuran, kebenaran, dan indepedensinya masih mampu dipertahankan.Namun, teori mengatakan lain, bahwa bila salahsatu pihak bisa menguasai 50% lebih media massa, maka telah berjaya memenangi setengah dari peperangan di lapangan. Dalam kondisi semacam ini, media massa di wilayah konflik lazimnya cendrung, kalau bukan kepada peace journalism, sudah tentu ke war journalism.
IV. PEACE JOURNALISM
Adalah Johan Galtung yang pertama sekali mempopulerkan istilah peace journalism dan war journalism, bersama pakar media, akademisi dan pemerhati perdamaian. Ide ini muncul dalam suatu forum kuliah musim panas di Universitas Birmingham, Inggris, tahun 1997, dengan tajuk Conflict and Peace Forum. Di antara peserta yang ikut ambil bagian dalam kuliah ini beberapa pakar perdamaian, praktisi pers, dan beberapa mahasiswa dari negara-negara Eropa, Afrika, Asia dan AS, yang diselingi dengan berbagai perdebatan (Galtung, 1998).
Kemuakan, kejenuhan dan rasa kesal dari pekerja-pekerja pers, akademisi dan publik, adalah bagian dari indikator penting munculnya ide peace journalism sebagai protes terhadap sajian-sajian perang dan kekerasan oleh media massa yang dianggap sebagai sajian hiburan (intertainment). Kekesalan dan kemuakan yang paling memuncak, ketika Amerika dan sekutu-sekutunya melakukan Operasi Badai Gurun di Teluk. Cable News Network (CNN) misalnya, membuat siaran langsung yang disajikan detik demi detik peperangan tahun 90-an tersebut.
Saat itu semua media menjagokan Amerika sebagai polisi dunia dan seluruh kompanye negatif ditimpakan kepada presiden Irak, Saddam Husein, yang dianggap sumber malapetaka. Padahal ketidakseimbangan kekuatan antara Irak dan Amerika yang dibantu oleh sekutu-sekutunya. Sama halnya apa yang terjadi masa sekarang di Irak. Media massa (baik cetak maupun elekronik) karena ingin mendapatkan hadiah Pulitzer sebagai simbol prestise, menafikan realitas objektif di lapangan. Ironisnya lagi, jarang media massa membela dan menyiarkan secara langsung dan berketerusan terhadap korban pihak-pihak yang tidak terlibat sama sekali dengan konflik dan peperangan. Pengeboman tempat-tempat sipil dan barak-barak pengungsi oleh serdadu, seharusnya mendapat forsi dan space yang memadai dari pers. Dengan kata-kata, gambar-gambar dan ulasan-ulasan yang menyentuh hati dan perasaan setiap publik (pembaca dan pemirsa) media massa. Ulasan dan tayangan-tayangan tersebut dapat membentuk prilaku kolektif rasa senasib, iba, rasa kasihan, solidaritas dan aksi-aksi saling membantu. Ketrampilan menggunakan prinsip-prinsip peace journalism ini oleh pekerja-pekerja pers merupakan bagian dari art journalism (lihat: A.Muis,2001).
Bagi Dedy N. Hidayat (2001), beranggapan bahwa, konflik selalu menguntungkan media. Sebab media justru diuntungkan oleh krisis dan dirugikan oleh segala sesuatu yang berjalan normal. Deddy agaknya lupa, bahwa fungsi dan peran media adalah, di samping memberi informasi yang benar, pendidikan, hiburan. Juga berfungsi sebagai kekuatan control social. Apalagi di daerah konflik, fungsi yang terakhir ini sangat urgen untuk dimunculkan. Bukan menngambil untung diatas penderitaan orang lain. Aksi-aksi semacam ini sangat bertentangan dengan Kode Etik dan indepedensi kaum jurnalis itu sendiri dan prinsip-prinsip HAM.
Media harus mampu mengkritisi, mengevaluasi dan menawarkan solusi setiap kebijakan dan propaganda yang berkembang. Apalagi di wilayah-wilayah konflik, seperti di Aceh. Jangan ikut-ikutan menabuh gendrang perang. Beritakan peristiwa-peristiwa berdasarkan data dan fakta, jangan menjadi alat propaganda dari pihak bertikai. Berapa orang yang terbunuh, siapa-siapa, di mana, kapan dan bagaimana (5W+1H). Jangan hanya diberitakan yang ditembak itu TNA dan TNI, bukan sipil. Padahal jelas-jelas masyarakat biasa tanpa senjata. Berita itu pun masih miring, TNA selalu terbunuh, sedang TNI hanya luka-luka biasa. Sipil yang juga setiap hari kehilangan nyawa, harta benda, kecemasan, stress, gila dan gangguan psikologis berkepanjangan, hampir-hampir luput dari pemberitaan media massa. Simak misalnya, hasil polling yang diadakan Tabloid Kontras mengenai harapan warga kota Banda Aceh terhadap pemberitaan pers dengan 136 responden. Sebanyak 43,38% mengharapkan pers menonjolkan penderitaan korban, 34,56% menginginkan penonjolan insiden dan penderitaan koban, hanya 11,76% saja yang menginginkan penonjolan insiden dan 10,30% pers menonjolkan pernyataan pihak-pihak bertikai (KIPPAS, 2002).
Hasil Polling ini menggambarkan, betapa besarnya harapan masyarakat agar pers berpihak kepada para korban. Hanya sebagian kecil saja (11,76%) yang menginginkan pers memberitakan insiden. Bahkan lebih sedikit lagi yang hanya mengharapkan komentar pihak-pihak berperang (10,30%).
Akhbar-akhbar harian dan mingguan, mahupun tabloid-tabloid di Aceh, seperti Harian Serambi, tabloid Kontras, Bedoh, dll. Merupakan bagian dari kekuatan yang sedang bertarung di antara pihak-pihak yang bertikai. Tekanan-tekanan terhadap media dan jurnalis telah menjadi bahagian dari konflik itu sendiri. Penyandraan dan pembunuhan Ersa Siregar (30 Desember 2003) salah seorang wartawan senior Rajawali Citra Televisi indonesia (RCTI),adalah bagian dari tekanan, terror dan intimidasi terhdap pekerja pers.Ruang (space), masa dan kebebasan, seakan-akan hanya milik pihak-pihak yang bertikai. Penembakan Ersa juga pelecehan terhadap profesi mulia kewartawanan.
Pengakuan KSAD, Ryamizard Ryacudu tentang kematian Ersa Seregar, wartawan RCTI, ketika meliput konflik vertikal di Aceh (diluar kebiasaan petingi TNI), bahwa peluru pencabut nyawa Ersa itu berasal dari TNI. Menurutnya, kematian reporter RCTI itu adalah resiko wartawan perang di medan tempur yang sedang bergejolak (Surabaya Post, 31 Desember 2003).
Peristiwa pembunuhan Ersa Siregar ini benar-benar menjadi ujian bagi pekerja-pekerja pers. Apakah berani membuat investigasi, meliput, mengolah data dan mempublikasi secara transparan kepada publik, atau menyerah dan pasrah dalam ketakutan. Berita-berita korban konflik dari orang-orang yang tidak bersalah tidak berani diliput dan dipublikasikan. Bagaimana jika yang korban tersebut rakannya sendiri…???.
Koran Harian lokal yang populer di Aceh sekarang adalah Harian Serambi Indonesia, disamping koran Harian Waspada Medan. Isu-isu konflik Aceh sebagai konsumsi Koran-koran lokal dan nasional akhir-akhir ini seringkali merebut tempat dengan isu-isu lainnya di Aceh, misalnya pemilihan umum (pemilu) yang telah berlangsung April 2004. Misalnya, berita-berita yang diturunkan Harian Serambi pada hari jum’at 19 Desember 2003, hanya dua tempat yang menyentuh dengan konflik. Halaman muka dengan dengan judul : KOOPS SELAMATKAN SUPIR KRU RCTI. Dan pada halaman 6 dengan judul: 20.000 WARGA DEKLARASIKAN GEURASA (Gerakan Rakyat Anti Separatis). Dekian pula Tabloid-tabloid, seperti Kontras No.271, 18-24 Desember 2003, laporannya tidak menyentuh samasekali dengan berita-berita konflik Aceh. Bahkan lebih banyak menurunkan berita-berita pemilu dan penangkapan Saddam Husein. Bagaimana dengan Tabloid Bedeh? Juga sama, misal, edisi 8, 19 Nopember-3 Desember 2003, hanya laporan utama saja yang menyentuh konflik dibawah judul: SOLIDARITAS ACEH-PAPUA KECAM PERPANJANGAN DARURAT MILITER DI ACEH. Selebinya hampir semua halamannya menurunkan berita-berita seputar pemilu di Indonesia, terutama di wilayah Aceh dalam kondisi Darurat Militer. Meskipun ulasan-ulasannya menolak pemilu di Aceh dengan alasan tidak demokratis karana Aceh masih dalam status Darurat Militer.
Dengan gambaran berita-berita yang diturun Koran-koran harian dan Tabloid-tabloid di atas, terlihat bahwa ada kecendrungan media massa menggeser posisinya dari hiruk-pikuk larut dalam berita-berita konflik ke posisi isu-isu ke kinian lainnya. Namun, prinsip-prinsip jurnalisme damai (peace journalism) masih belum sepenuhnya dilaksanakan. Nasib para korban konflik, anti kekerasan, menyerukan perdamaian, mencegah peperangan dan perang lanjutan sebagai muatan peace journalism tetap terabaikan.
V. WAR JOURNALISM
Journalisme Perang atau war journalism, kebalikan dari peace journalism dan prinsip-prinipnya pun sangat kontradiktif pula. Jurnalisme Perang ini lebih banyak dipraktekkan hanya untuk mencari keuntungan finasial semata-mata, dengan menaikkan tiras atau oplah media. Berita-berita yang disajikan sentiasa bernuansa kekerasan dan sangat vulgar, bersifat propaganda dan ikut serta menabuh gendrang perang.
Eriyanto, menyebutkan, journalisme perang lebih beroreintasi pada menang-kalah (zero-sume oriented); dampak yang dapat dilihat (dampak fisik); membagi pihak yang bertikai menjadi dua kubu yang bermusuhan; cendrung memburukkan lawan dan menghumanis-kan kelompok “kita”; harus jelas pemenang dan pecundang (Eriyanto, 2001).
Journalisme Perang lebih terfokus pada arena konflik, situasi kacau, perang dan kekerasan. Fakta dan data ditutup-tutupi, sebab akibat hanya sebatas konflik, terbatas hanya pada dampak fisik (pembunuhan, berapa korban, luka-luka dan kerugian materi). Menyebut nama pelaku kejahatan dan kelompoknya di pihak “mereka” saja. Lebih banyak berorientasi pada elit ketimbang rakyat jelata, menyembunyikan kebenaran dan inisiatif perdamaian dan terlena dengan stabilitas masyarakat yang terkendali. Dan masih banyak hal-hal lain yang senantiasa kontra dengan keinginan dan inisiatif-inisiatif yang mengacu kepada perdamaian, keadilan, kemanusiaan dan demokratisasi.
Journalisme Perang sering ditampilkan media massa lewat penggunaan bahasa-bahasa berita yang bombastis, hiperbolik, dan sensasional. Terkait dengan konteks ini, telah dilakukan penelitian yang cermat oleh sdr Fakhrurrazi, mahasiswa Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry Aceh terhadap Koran Harian Serambi Indonesia terbitan 1 April-12 Mei 2002, dengan menggunakan metode Content Analysis terhadap bahasa berita konflik Aceh di Harian tersebut.
Hasilnya mengambarkan bahwa, Koran Harian Serambi Indonesia orientasi pemeberitaannya cendrung pada War Journalism, dengan rincian, dari 53 berita yang diriset ditemukan sebanyak 47 pokok berita (88,67%) memuat kekerasan simbolik, artinya hanya 6 pokok berita (11,32%) saja yang tidak termuat kekerasan simbolik. Demikian pula, masalah sumber-sumber berita yang didominasi oleh kalangan elit RI dan GAM, masing-masing: TNI/POLRI (militer) ditemukan 43 pokok berita (81,13%). GAM sebanyak 41 pokok berita (77,35%).
Deskripsi ini menunjukkan bahwa Koran lokal, Harian Serambi Indonesia menyediakan space yang lebar kepada pihak bertikai (RI dan GAM) untuk saling menghujat, memfitnah, menghadu domba dan propaganda. Imbasnya adalah terjadi kebingungan-kebingungan dari publik pembaca, siapa sebenarnya yang benar dan harus diikuti. Kondisi semacam ini memang dapat dipahami, bagaimana posisi media massa dan pekerja pers yang sentiasa dibawah tekanan moncong senjata.
Penembakan Ersa Siregar reporter RCTI (Berita Harian, 1 Januari 2004), barangkali bisa menjadi analisis dan gambaran bagaimana kondisi dan posisi pekerja pers ketika meliput berita-berita konflik. Di satu sisi, ingin bertindak sesuai dengan fitrah kewartawanan dan professional. Di sisi lain, berhadapan dengan berbagai kemungkinan yang kadang-kadang bisa merenggut nyawa.
VI. KHATIMAH
Posisi media massa di wilayah konflik, seperti Aceh, sangat dilematis. Pekerja-pekerja pers sentiasa menjadi sasaran represif pihak-pihak bertikai. Intimidasi, teror, penculikan dan bahkan pembunuhan, menjadi hari-hari pahit yang dilalui insan-insan pers dalam meliput berita-berita konflik.
Pembunuhan Ersa Siregar (Utusan Malaysia, 1 Januari 2004) menjadi catatan dan lembaran hitam dunia jurnalistik, meskipun kejadiannya di Aceh. Peristiwa kejam ini telah membuka mata, telinga dan mengetuk nurani insan sejagat, betapa mengerikan konflik bersenjata di Aceh yang seharusnya menjadi bahan dan kebikan untuk kemudian, bagaimana member perlindungan kepada insane-insan pers dan profesi jurnalistik. Dan dicari solusi-solusi damai dan beradab secara kolektif untuk menghentikan kekerasan kemanusiaan di berbagi tempat belahan dunia lainnya.
Peristiwa ini pula telah memancing gelombang demonstrasi di mana-mana, di Jakarta misalnya, puluhan wartawan yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) memprotes kematian Ersa dan menyatakan duka yang mendalam atas musibah tersebut. Menurut AJI kematian Ersa seharusnya bisa dihindari jika TNI dan GAM mengutamakan harga manusia dan kemanusiaan di atas logika perang (Surabaya Post, 31 Desember 2003).
Posisi Pers di wilayah konflik (Aceh), sentiasa berada antara praktik-praktik dan prinsip-prinsip journalisme damai dan perang. Namun, beberapa riset yang dilakukan terhadap media lokal di Aceh, menunjukkan bahwa media massa lokal cendrung menggunakan prinsip-prinsip journalisme perang, terutama dalam penggunaan bahasa-bahasa berita kekerasan simbolik. God Know Best!.
DAFTAR PUSTAKA
Alfian, Ibrahim. Perang di Jalan Allah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1987.
Al-Chaidar. Aceh Bersimbah Darah, Pustaka Al-Kausar, Jakarta, 1998.
Hurgronje, Snuock. The Acehnese, Terj.A.W. S. Sulivan, Vol.L., Laiden, E.J.Brill, 1908.
Sjamsuddin, Nazaruddin. Pemberontakan Kaum Republik, Temprit, Jakart, 1990.
Sudibyo, Agus, dkk., 2001, Kabar-kabar Kebencian: Prasangka agama di Media
Massa, ISAI, Jakarta.
Nugroho, Bimo, 1999, Politik Media Mengemas Berita, ISAI, Jakarta.
Galtung, Johan, 1998, The Peace Journalism Option, Trancend Peace and Development Network, Taplou, Inggris.
Prasetyo, Adi, Stanley, 2001,Makalah seminar; Resolusi Konflik Melalui Jurnalisme Damai, 19 April 2001, Yayasan KIPPAS, Medan, dimuat di Jurnal Kupas, No.2 Vol 3.
Siregar, Ashadi, Jurnalisme Damai: Resolusi Konflik, dimuat dalam Jurnal SENDI.
KIPPAS, 2002, Luka Aceh Duka Pers, Ed. J. Anto, Medan.
Muis, A. 2001, Komunikasi Islami, Pen. ROSDA, Bandung.
Ahmad, S.M, dkk, 1999, Merdeka Dalam Perdebatan, Citra Putra Bangsa, Jakarta.
Calhoun, C. Nasionalisme dan Sivil Society. Jurnal Ilmu sosial Transformatif, No. 1, Jakarta: INSIST, 1999.
Cohen and Arato.Civil Society and Political Theory. Massachuset: MIT Press, 1992.
Hikam, M.A.S. Demokrasi dan Sivil Society, LP3ES, Jakarta, 1997.
___________, 1999, Islam, Demokratisasi, dan Pemberdayaan Sivil Society, Erlangga, Yakarta, 1999.
Harian Serambi Indonesia, Jum’at, 19 Desember 2003.
Tabloid Kontras, No.271, 18-24 Desember 2003.
Tabloid Bedoh, Edisi 8, 19 Nopember-3 Desember 2003.
Harian Surabaya Post, 31 Desember 2003.
Majalah Utusan Malaysia, 01 Januari 2004.
0 komentar:
Posting Komentar